resensi buku non fiksi NOVEL QUEEN OF THE EAST :TITANIC FROM HINDIE

RESENSI NOVEL QUEEN OF THE   EAST :        TITANIC FROM HINDIE

Judul : Queen of The East
Penulis : Yanti Soeparmo
Penerbit : ProuMedia
Tahun : 2010

Sinopsis :
Sebuah kapal bernama Queen of the East, melepas sauh menuju Hindia, the Tropical Holand. Negeri yang menjanjikan seribu keindahan. Sebuah kapal yang darinya tersembul berbagai harapan: dua mahasiswa pribumi pulang menyelundupkan benda rahasia demi mendukung perjuangan kemerdekaan; orang-orang Belanda menyeberang untuk sekadar pulang ke negeri jajahan, ada pula yang mengadu nasib di negeri orang.

Namun ia juga menyimpan kengerian: tiga kompi pasukan didatangkan untuk membungkam perlawanan pejuang kemerdekaan; dan tak kalah mengerikan, seorang agen rahasia disusupkan untuk memecah-belah sebuah elemen masyarakat Hindia agar sibuk berkonflik dan absen dari perjuangan.

Banyak kepentingan dibawa, dan banyak konflik timbul dalam perjalanan; pembunuhan, fitnah dan ancaman dilancarkan. Bagaimana nasib para penumpang? Apakah mahasiswa Indonesia berhasil membawa barangnya dengan selamat? Apakah agen rahasia itu berhasil menjalankan misinya? Bagaimana dengan 366 personel pasukan penjajah yang turut serta, apakah mereka sampai ke Hindia?

Sebuah novel yang mencoba menggambarkan realita sejarah dengan sangat elegan, sekaligus menarik untuk dibaca

Kali ini saya mau ngobrol tentang buku yang di covernya ada stempel ‘Pemenang Penghargaan Nasional Tertinggi Sayembara Novel Menggugah 2009’. Cukup muluk ya? Tapi, setelah nuntasin baca saya langsung bilang ‘yes’, kalau novel bergenre fiksi sejarah ini emang pantes dapet gelar itu.

Novel Queen of The East yang ditulis oleh Yanti Soeparmo ini meracik kisah dengan konflik yang begitu kompleks, setting tempat, waktu dan peristiwa yang runut dan detail, penokohan yang banyak dan beragam karakter, juga yang tak kalah unik….sebagian besar kisah bersetting diatas kapal!

Yups. Mulai kebayang film Titanic pastinya 😀 Tapi, novel yang satu ini jauh lebih berwarna ketimbang Titanic yang lebih didominasi kisah cinta Jack-Rose dan peristiwa tragis terbelahnya kapal cruise mewah itu. Bersama kapal bernama Queen of The East yang melaju dari Netherland menuju Batavia, kita akan diajak menelusuri lika-liku kisah cinta terlarang, konspirasi, intrik, penyusupan intel, juga pengorbanan atas nama cinta.

Tanpa perlu mengurai diksi yang bertabur metafora, namun bermodalkan kepiawaian meramu konflik dan penyajian adegan yang detail, emosi kita cukup dibawa terhanyut dengan satu demi satu konflik yang dihadirkan. Konflik yang sebenarnya bertitik tolak dari penyusupan intel yang menyamar dan membawa misi keji untuk memecahbelah masyarakat Hindia sesampai di Batavia nantinya. Seiring dengan kedok penyamaran yang perlahan terkuak, satu demi satu kejadian tragis susul menyusul : terbunuhnya dua bocah kembar di gudang penyimpanan tank, menyusul pria bernama Petrus van Hoorn yang kemudian menggiring istrinya Aletta sebagai tertuduh (Aletta yang tidak bersalah akhirnya meninggal di tahanan karena sakit), bunuh dirinya sang kapten kapal karena tak tahan menanggung beban dosa menerima sogokan sangat besar dari sang penyusup yang mengakibatkan serentetan bencana di kapal, juga…terbunuhnya sang intel penyusup sendiri begitu kapal tiba di Batavia di tangan seorang serdadu Belanda.

Tadinya saya kira tak akan menemukan tokoh pria yang bisa bikin jatuh hati sebagaimana para tokoh pria dalam novel2 bergenre romance. Nyatanya disinipun saya menemukannya. Dialah Letnan Jeremias Stewart, alias Jacob, alias Muh. Yakub. Sosok utama yang berhasil mencuri simpati  tanpa perlu menjelma jadi sosok Mr. Nice Guy yang serba perfect,  tidak ‘bermodalkan’ wajah setampan George Clooney or Leonardo Di caprio (Jeremias adalah serdadu Belanda keturunan Afrika), tidak menenteng barang2 mewah (selain hanya mencangklong senjata), tidak juga merayu dengan kata2 romantis (melainkan menunjukkan sikap kejantanannya dengan membela orang2 yang lemah dan teraniaya diatas kapal juga akhirnya menembak sang intel penyusup demi cintanya pada Safiya walau harus menanggung konsekuensi terancam hukuman mati).

Dan kisah tentang Jeremias ini menjadi penyambung kisah yang tak kalah menarik dan heroik pasca pendaratan Queen of the East di Batavia. Berawal dari vonis hukuman mati atasnya karena telah menembak sang penyusup, diselamatkan oleh komandan yang berutang budi, ‘dibuang’ sebagai ABK kapal Pinisi dengan identitas baru, menjadi mualaf, diburu kembali oleh orang2 dibalik layar pengutus sang intel yang tak lain adalah Netherlander sendiri, kegagalannya menikah dengan wanita pujaannya meski hari pernikahan sudah diambang pintu, hingga pelariannya dari para pemburunya berakhir di kampung halamannya dengan menjadi penambang emas di Afrika.

Kekurangan? Wah, hampir tanpa cacat sepertinya, kecuali pada bab2 awal yang terasa membosankan dan membingungkan karena belum terurainya masalah utama, sampai2 saya membutuhkan waktu setahun untuk menuntaskan separuh bagian awal cerita (kebangetan yak :D) dan sisanya dalam semalam! Karena, mulai dari tengah sampai akhir, disitu baru letak serunya.

Juga penampilan yang kurang eye catching, dengan lembar2 kertas buku ini yang tipis dan buram, rada mirip kertas roti warnanya, cover yang meski mengingatkan kita pada film Titanic dengan gambar ujung haluan kapal bersama sosok seseorang diatasnya, nurut saya sih bisa terlihat lebih ‘gagah’ kalau misalnya kapalnya dibuat tampak depan dengan pewarnaan yang lebih tajam juga tanpa perlu dimirip2kan dengan gambar film yang fenomenal itu.

Dan…apa ya? Kok ya rasanya promonya kurang greget atau saya aja yang kurang info kali ya? Yang jelas, buku2 dari penerbit yang sama emang nggak pernah hadir di kota saya, juga minim sekali info yang saya peroleh tentang buku ini di google, padahal secara mutu konten, novel ini memang layak menjadi pemenang pertama dan menjadi alternatif fiksi sejarah yang diracik dengan kompleks dan elegan.

Leave a Reply